Jumat, 15 Oktober 2010

Mie Instan

Mie instan menjadi pusat perbincangan seminggu ini setelah pemerintah Taiwan melarang peredaran Indomie karena ada bahan pengawet kosmetik di kandungan mie instan sehingga bisa berbahaya jika dikonsumsi tubuh dan tidak sesuai patokan pemerintah setempat.

Pelarangan di Taiwan itu akan terus berlanjut hingga ada kejelasan hasil penelitian pemerintah setempat terkait dengan kandungan bahan pengawet di dalam produk indomie.

Meski bukan makanan pokok siapa sih yang belum pernah makan mie instan. Makanan cepat saji dengan campuran bumbu dan zat kimia yang menghasilkan cita rasa yang lumayan dan sangat digemari warga.

Menurut World Instan Noodle Association (WINA), rata-rata konsumsi mie instan di Indonesia termasuk yang tertinggi yaitu 65,2 bungkus per kapita per tahun, atau sebanyak 14,99 miliar bungkus. Data ini dilansir tahun 2007, yang artinya sangat mungkin telah terjadi penambahan sampai tahun ini.

Meningkatnya jumlah konsumsi mie instan juga berarti meningkatnya konsumsi pangan impor, mengingat mayoritas produk mie instan saat ini menggunakan gandum sebagai bahan baku pokok.

Masih ingat saat debat Capres lalu Jusuf Kalla sempat melontarkan isu impor gandum yang dapat merusak kestabilan pangan, setelah SBY menggunakan lagu pencintraan Indomie untuk kampanyenya.

Sejak tahun 1970 terjadi pergeseran konsumsi dari jenis pangan berupa beras,sagu, umbi-umbian dan jagung ke gandum yang bahan dasarnya harus impor dan tidak bisa diproduksi di Indonesia.

Padahal tanah dan bumi Indonesia subur makmur dan potensi alam yang dapat menghasilkan beragam potensi pangan. Tidak lagi menjadi penghasil namun telah menjadi konsumen pangan.

Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Prof Dr Kris Herawan Timotius di harian Suara Karya mengatakan, ketergantungan terhadap impor komoditas pangan, salah satunya gandum, akan membahayakan kestabilan ekonomi dan politik di Indonesia. Sebaliknya, negara-negara pemasok gandum juga dapat memanfaatkannya sebagai alat untuk menekan Indonesia, baik secara ekonomi maupun politik. Misalnya dalam isu-isu tertentu yang terkait dengan hubungan bilateral maupun multilateral.

"Contoh gampangnya, bila negara-negara pemasok gandum terbesar, seperti Amerika Serikat dan Australia, marah kepada Indonesia, maka mereka tidak perlu mengirim kapal perang dan pasukannya ke Indonesia, tetapi cukup dengan menghentikan pengiriman gandum. Maka, perekonomian dan situasi politik Indonesia bisa terguncang. Dengan penghentian pengiriman biji gandum, maka bisa saja produk mi instan yang selama ini dijual dengan harga Rp 1.100 per bungkus melonjak menjadi Rp 10.000 atau bahkan Rp 20.000 per bungkus," tuturnya.

Masalah kedaulatan pangan seharusnya produsen mie instan mampu menggunakan sumber bahan baku dari jenis pangan produksi dalam negri dan tidak selalu tergantung dengan luar negeri.

Namun terobosan untuk membuat mie instan dari sagu atau bahan baku lainnya yang tidak selalu impor juga harus mendapat jempol dan apresiasi. Demikian juga dengan BPOM sebagai lembaga pengawas makanan juga harus aktif melakukan pemeriksaan dengan menggunakan standar yang aman karena penggunanya yang sangat luas.

Teddy Ardianto
http://www.beritajatim.com/sorotan.php?newsid=741

Tidak ada komentar: